Sejarah Pemikir Ekonomi Islam Dari Waktu Ke Waktu

  • Whatsapp
Sejarah Pemikir Ekonomi Islam Dari Waktu Ke Waktu

Sejarah para pemikir ekonomi Islam, penting untuk diketahui dari waktu ke waktu, sehingga akan ditemukan gambaran secara jelas dan runtutan pengembangan yang telah dilakukan oleh para ulama, sehingga dapat diambil ilmu pengetahuan tentang bagaimana menjalankan Ekonomi Islam yang sesungguhnya.

Berdasarkan fakta-fakta sejarah, sesungguhnya istilah pemikir ekonomi Islam sesungguhnya telah ada dan muncul pada masa setelah Khalifatul Rasyidin, yaitu setelah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahu‘anhum Ajma’in.

Read More

Walau sebenarnya pada zaman Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat radhiyallahu‘anhum sendiri juga bisa disebut sebagai pelaku sejarah ekonomi Islam dan bahkan ahli dalam bidang ekonomi Islam tersebut, ahli dalam bidang perdagangan dan dalam bidang kerjasama perekonomian serta dalam hal penitipan suatu barang dan harta lain.

BACA JUGA: Sistem Ekonomi Islam, Pengertian dan Prinsip – prinsipnya

Namun yang akan dibahas dalam artikel ini adalah ekonomi Islam pada masa setelahnya dengan pemikirian-pemikirannya, dalam mengambil ijtihad atau pemikiran-pemikiran pada masa periode itu. Karena pada masa itu peradaban mulai berkembang, dan sistem-sistem dunia barat yang baru muncul hendak berbaur dengan dunia Islam. Berikut adalah sejarah pemikir ekonomi Islam dan pemikirannya tentang ekonomi:

1. Periode Pertama, Fondasi Pemikiran Ekonomi Islam 80 – 450 H

Pada periode ini banyak sarjanah Muslim yang pernah hidup bersama para sahabat Rosulullah dan para tabiin sehingga mereka dapat memperoleh refrensi ajaran Islam yang autentik dan paling dekat dengan Nabi sebagai pembawa dari ajaran Islam.

Berikut adalah sejarah beberapa pemikir ekonomi Islam pada priode pertama diantara yang karyanya dikenal yaitu: Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Al Shyabani, Abu Ubayd, Ibn Miskwayh, dan Mawardi.

a. Abu Hanifah Al-Nu’man Ibn Sabit bin Zauti 80-150 H

Abu hanifah al-Nu’man Ibn Sabit Bin Zauti, ahli hukum Islam yang lahir di Kufah, Irak pada 699 M masa pemerintahan abdul malik bin Marwan. Ia banyak meninggalkan karya tulis, antara lain Al-makharif fi Al-fiqh, Al-musnad, dan Al-fiqh Al-akbar.

Abu Hanifah menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, salah satunya adalah salam, yaitu suatu bentuk transaksi di mana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang yang dibeli dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati.

Abu Hanifah mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang cenderung mengarah kepada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dulu, dengan dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih jauh apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam kontrak. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditas tersebut harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan waktu pengiriman.

Abu Hanifah tidak membebaskan perhiasan dari zakat dan akan membebaskan kewajiban membayar zakat bagi pemilik harta yang dililit hutang. Beliau tidak memperbolehkan pembagian hasil panen dari penggarap kepada pemilik tanah dalam kasus tanah yang tidak menghasilkan apapun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang umumnya orang lemah.

b. Abu Yusuf 103-182 H

Abu yusuf barangkali merupakan fuqaha pertama yang memiliki buku (kitab) yang secara khusus membahas masalah ekonomi. Kitabnya yang berjudul Al-Kharaj, banyak membahas ekonomi publik, khususnya tentang perpajakan dan peran negra dalam pembangunan ekonomi.

Abu yusuf menekankan pentingnya prinsip keadilan, kewajaran, dan penyesuaian terhadap kemampuan membayar dalam perpajakan, serta perlunya akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Negara. Ia juga membahas taknik dan system pemungutan pajak, serta perlunya sentralisasi pengambilan keputusan dalam administrasi perpajakan.

Selain itu Abu Yusuf juga menekankan pentingnya sifat amanah dalam mengelola uang negara, uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Ia sangat menentang pajak atas tanah pertanian dan mengusulkan penggantian sistem pajak tetap atas tanah menjadi sistem pajak proporsional atas hasil pertanian.

Sistem proporsional ini lebih mencerminkan rasa keadilan serta mampu menjadi automatic stabilizer bagi perekonomian sehingga dalam jangka panjang perekonomian tidak akan berfluktuasi terlalu tajam. Beliau juga menekankan pentingnya prinsip keadilan, kewajaran, dan penyesuaian terhadap kemampuan membayar dalam pengelolaan keuangan negara. Ia juga membahas teknik dan sistem pemungutan pajak, serta perlunya sentralisasi pengambilan keputusan dalam administrasi perpajakan.

Menurutnya, negara memiliki peranan besar dalam menyediakan barang/fasilitas publik, yang di butuhkan dalam pembangunan ekonomi, seperti: jalan, jembatan, bendungan dan irigasi. Dalam aspek mikro ekonomi, Abu Yusuf juga telah mengkaji bagaimana mekanisme harga bekerja dalam pasar, kontrol harga, serta apakah pengaruh berbagai perpajakan terhadapnya

c. Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaybani 132-189 H

Muhammad bin abdul al-hasan adalah sosok mencatatkan diri dalam sejarah pemikir ekonomi islam dengan menulis beberapa buku, antara lain kitab al-iktisab fiil rizq al-mustahab (book on erning a clean living) dan kitab al asl. Buku yang pertama banyak membahas berbagai aturan syariat tentang ijarah,tijarah, ziraah, dan sinaah (hiring out, trade, agriculture, and industri).

Buku-buku yang ditulis Muhammad bin al-hasan ini mengandung tinjauan normative sekaligus positif, sebagaimana karya kebanyakan sarjana muslim. Buku pertama Al-Shaybani juga banyak membahas berbagai aturan syariat tentang ijarah, tijarah, ziraah, dan sinaah.

Perilaku konsumsi ideal seorang Muslim menurutnya adalah sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka meminta-minta. Buku yang kedua membahas berbagai bentuk transaksi/kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya salam, sharikah, dan mudharabah. Buku-buku yang ditulis Muhammad bin Al-Hasan ini mengandung tinjauan normatis sekaligus positif, sebagaimana karya kebanyakan sarjana Muslim.

d. Abu Ubayd Al-Qasim Ibn Sallam 224 H

Buku yang berjudul Al-Amwal ditulis oleh Abu Ubayd merupakan suatu buku yang membahas keuangan publik/kebijakan fiskal secara komprehensif. Di dalamnya dibahas secara mendalam tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fay, dan berbagai sumber penerimaan negara lainnya. Buku ini juga kaya dengan paparan sejarah ekonomi negara Islam pada masa dua abad sebelumnya, selain juga merupakan kompendium yang autentik tentang kehidupan ekonomi negara Islam pada masa Rasulullah SAW.

e. Harith bin Asad Al-Muhasibi 243 H

Harith bin Asad Al-Muhasibi menulis buku berjudul Al-Makasib yang membahas cara-cara memperoleh pendapatan sebagai mata pencaharian melalui perdagangan, industri dan kegiatan ekonomi produktif lainnya. Pendapatan ini harus diperoleh secara baik dan tidak melampaui batas /berlebihan. Laba dan upah tidak boleh dipungut atau dibayarkan secara zalim, sementara menarik diri dari kegiatan ekonomi bukanlah sikap Muslim yang benar-benar Islami. Harith menganjurkan agar masyarakat harus saling bekerja sama dan mengutuk sikap pedagang yang melanggar hukum (demi mencari keuntungan).

f. Ibn Miskwaih 421 H

Ibn Miskwaih banyak membahas tentang pertukaran barang dan jasa serta peranan uang. Menurutnya, manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Karenanya, manusia akan melakukan pertukaran barang dan jasa dengan kompensasi yang pas. Dalam melakukan pertukaran uang akan berperan sebagai alat penilai dan penyeimbang dalam pertukaran, sehingga dapat tercipta keadilan. Ia juga banyak membahas kelebihan uang emas (dinar) yang dapat diterima secara luas dan menjadi substitusi bagi semua jenis barang dan jasa. Hal ini dikarenakan emas merupakan logam yang sifatnya: tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah ditiru, dikehendaki dan digemari banyak orang.

g. Mawardi 450 H

Pemikiran Mawardi tentang ekonomi terutama dalam bukunya yang berjudul, Al-Ahkam al-Sulthoniyyah dan Adab al-Din wa’l Dunya. Buku yang pertama banyak membahas tentang pemerintahan dan administrasi, berisi tentang: kewajiban pemerintah, penerimaan dan pengeluaran negara, tanah (negara dan masyarakat), hak prerogatif negara untuk menghibahkan tanah, kewajiban negara untuk mengawasi pasar, dan lain-lain.

Terdapat tugas muhtasib untuk mengawasi pasar, menjamin ketepatan timbangan dan berbagai ukuran lainnya, serta mencegah penyimpangan transaksi dagang dan pengrajin dari ketentuan syariah. Buku yang kedua banyak membahas tentang perilaku ekonomi Muslim secara individual.

Buku tersebut menyampaikan ajaran-ajaran tasawuf tentang budi luhur individu dalam perekonomian yang meliputi empat mata pencaharian utama, yaitu: pertanian, peternakan, perdagangan dan industri. Selain itu, buku ini juga membahas perilaku-perilaku yang dapat merusak budi luhur, antara lain: ketamakan dalam menimbun kekayaan dan menuntut kekuasaan. Mawardi juga membahas tentang berbagai hukum syariat dari mudharabah dalam karyanya, Al-Hawi al-Mudharabah.

2. Periode Kedua, Ekonomi Islam Menjawab Kesenjangan 450-850 H

Pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya, meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam staf kemakmuran. Terdapat pemikiran-pemikiran besar yang karyanya banyak di jadikan rujukan hingga kini misalnya: Al-Ghazali, Nasirudin Tusi, ibn Tamiyah, ibn Kaldun, dan masih banyak lagi sebenarnya. Sejarah juga mencatat bahwa para pemikir ekonomi islam juga banyak berkarya dalam berbagai bidang ilmu yang luas, tetapi ide-ide ekonominya sangat cemerlang dan berwawasan kedepan. Berikut ini pokok pemikiran mereka.

a. Al-Ghazali 451-505 H

Al-Ghazali berpandangan bahwa kegiatan ekonomi merupakan amal kebajikan yang dianjurkan oleh Islam. Kegiatan ekonomi harus ditujukan mencapai maslahah untuk memperkuat sifat kebijaksanaan, kesederhanaan, dan keteguhan hati manusia. Bagi Al-Ghazali, pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Dalam Al-Ihya’, ia menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar.

Al-Ghazali telah mendiskusikan kerugian dari sistem barter dan pentingnya uang sebagai alat tukar dan pengukur nilai barang dan jasa. Uang bukanlah komoditas sehingga dapat diperjualbelikan. Memperjualbelikan uang ibarat memenjarakan uang, sebab hal ini akan mengurangi jumlah uang yang berfungsi sebagai alat tukar. Ia menyatakan bahwa pemalsuan uang (maghsyusy) sangat berbahaya karena dampaknya yang berantai, bahkan lebih berbahaya daripada pencurian uang.

Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar: (1) agama (al-dien), (2) hidup atau jiwa (nafs), (3) keluarga atau keturunan (nasl), (4) harta atau kekayaan (maal), dan (5) intelek atau akal (aql). Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, “kebaikan dunia ini dan akhirat (maslahat al-din wa al-dunya) merupakan tujuan utamanya”. Tambahan pula, Al-Ghazali memandang perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban social (fard al-kifayah) yang sudah ditetapkan Allah. Dan ia bersikeras bahwa pencaharian hal-hal ini harus dilakukan secara efisien, karena perbuatan demikian merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang.

Al-Ghazali juga banyak menyoroti kegiatan-kegiatan bisnis yang dilarang atau diperbolehkan dalam pandangan Islam. Ia juga menganggap bahwa korupsi dan penindasan merupakan faktor yang dapat menyebakan penurunan ekonomi, karenanya pemerintah harus memberantasnya. Pemerintah tidak diperbolehkan memungut pajak melebihi ketentuan syariat, kecuali jika sangat terpaksa.

b. Ibn Taimiyah 661-728 H

Menurut Ibn Taimiyah, penawaran bisa datang dari produksi domestic dan impor. Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan permintaan sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan. Besar kecilnya kenaikan harga bergantung pada besarnya perubahan penawaran atau permintaan.

Ibn Taimiyah telah membahas pentingnya suatu persaingan dalam pasar yang bebas, peranan “market supervisor” dan lingkup dari peranan negara. Negara harus mengimplementasikan aturan main yang Islami sehingga produsen, pedagang, dan para agen ekonomi lainnya dapat melakukan transaksi secara jujur dan fair.

Negara juga harus menjamin pasar berjalan secara bebas dan terhindar dari praktik-praktik pemaksaan, manipulasi dan eksploitasi yang memanfaatkan pasar sehingga persaingan dapat berjalan dengan sehat. Selain itu, negara bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dasar dari rakyat. Banyak juga aspek mikro yang dikaji oleh Ibn Taimiyah, misalnya tentang beban pajak tidak langsung yang dapat digeserkan oleh penjual (yang seharusnya membayar pajak ini) kepada pembeli dalam bentuk harga beli yang tinggi.

BACA JUGA: Kredit Syariah: Sejarah Umum dan Macam-Macam Akadnya

Dalam hal uang, ia telah mengingatkan risiko yang dimungkinkan timbul jika menggunakan standar logam ganda (sebagaimana kemudian dikenal sebagai Gresham’s Law di Barat). Hal lain yang dibahas adalah peranan demand dan supply terhadap penentuan harga serta konsep harga ekuivalen yang menjadi dasar penentuan keuntungan yang wajar

c. Ibn Khaldun 732-808 H

Secara umum Ibn Khaldun sangat menekankan pentingnya suatu sistem pasar yang bebas. Ia menentang intervensi negara terhadap masalah ekonomi dan percaya akan efisiensi sistem pasar bebas. Ia juga telah membahas tahap-tahap pertumbuhan dan penurunan perekonomian di mana dapat saja berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.

Jika pengeluaran dan pendapatan suatu negara seimbang serta jumlahnya besar, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. ia juga menekankan pentingnya demand side economics khususnya pengeluaran pemerintah untuk mencegah kemerosotan bisnis dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi kemerosotan ekonomi, pajak harus dikurangi dan pemerintah harus meningkatkan pengeluarannya untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.

Ibn Khaldun menekankan pentingnya ide-ide baru dalam praktik industri dan kerajinan, serta menganggap bahwa ekspansi pasar merupakan masalah yang krusial dalam hal ini. Dalam hal penawaran tenaga kerja ia berpendapat bahwa jika tingkat upah berada di atas titik tertentu maka penawaran tenaga kerja justru akan menurun, sebagaimana dikenal sebagai backward sloping supply curve dalam teori ekonomi modern.

Ketika menyinggung masalah laba, Ibn Khaldun mengatakan bahwa keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan. Sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan karena pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya bila pedagang mengambil keuntungan yang sangat tinggi, hal ini juga akan melesukan perdagangan karena permintaan konsumen akan melemah.

d. Nasiruddin Tusi 485 H

Tusi menyatakan bahwa spesialisasi dan pembagian tenaga kerja telah menciptakan surplus ekonomi sehingga memungkinkan terciptanya kerja sama dalam masyarakat untuk saling menyediakan barang dan jasa kebutuhan hidup. Hal ini merupakan tuntunan alamiah, sebab seseorang tidak bisa menyediakan semua kebutuhannya sendiri sehingga menimbulkan ketergantungan satu dengan lainnya. Akan tetapi, jika proses ini dibiarkan secara alamiah, kemungkinan manusia akan saling bertindak tidak adil dan menuruti kepentingannya sendiri-sendiri.

Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi (siyasah/politik) yang mendorong manusia untuk saling bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Tusi sangat menekankan pentingnya tabungan dan mengutuk konsumsi yang berlebihan serta pengeluaran-pengeluaran untuk asset-aset yang tidak produktif. Ia memandang pentingnya pembangunan pertanian sebagai fondasi pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Ia juga merekomendasikan pengurangan pajak, di mana berbagai pajak yang tidak sesuai dengan syariah Islam harus dilarang.

3. Periode Ketiga, Era Ekonomi Islam Menjawab Modernisasi 850 – 1350 H

Periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat islam sebenernya telah mengalami penurunan. Namun demikian, terdapat beberapa pemikiran ekonomi yang berbobot selama ratusan tahun terahir, sebagaimana tampak karya dari Shah waliullah, Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad igbal.

a. Shah Waliullah 1114-1176 H

Pemikiran ekonomi Shah Waliullah dapat ditemukan dalam karyanya yang terkenal berjudul, hujjatullah al-balgha, dimana ia banyak menjelaskan rasionalitas dari aturan-aturan syariat bagi perilaku manusia dan pembangunan. Shah waliullah menekankan perlunya pembagian faktor-faktor ekonomi yang bersifat alamiah secara lebih merata, misalnya tanah. Ia menyatakan, “sesungguhnya, semua tanah sebagai mana masjid atau tempat-tempat peristirahatan dibarikan kepada musafir. benda-benda tersebut dibagi berdasarkan prinsip siapa yang pertama datang dapat memanfaatkannya. Kepemilikannya terhadap tanah akan berarti hanya jika orang lebih dapat memanfaatkanya daripada orang lain”.

Menurut Shah Waliullah, manusia secara alamiah adalah makhluk sosial sehingga harus melakukan kerja sama antara satu orang lainnya. Beliau juga menekankan perlunya pembagian faktor-faktor ekonomi yang bersifat alamiah secara lebih merata, misalnya tanah. Untuk pengelolaan negara, maka diperlukan adanya suatu pemerintahan yang mampu menyediakan sarana pertahanan, membuat hukum dan menegakkannya, menjamin keadilan, serta menyediakan berbagai sarana public seperti jalan dan jembatan. Untuk berbagai keperluan ini negara dapat memungut pajak dari rakyatnya.

Berdasarkan pengamatannya terhadap perekonomian di Kekaisaran Mughal India, Waliullah mengemukakan dua faktor utama yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Dua faktor tersebut yaitu: pertama, keuangan negara dibebani dengan berbagai pengeluaran yang tidak produktif; kedua, pajak yang dibebankan kepada pelaku ekonomi terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi yang efisien.

b. Jamaluddin Al Afghani 1254H-1303 H

Sayyid Muhammad bin Safdar al-Husayn atau yang lebih dikenal dengan Jamaluddin Al Afghani, selama masa perjuangannya melakukan pembaharuan dalam bidang ekonomi memang jarang disebutkan. Tetapi semua tujuan pembaharuannya adalah kesejahteraan rakyat, sehingga tingkat pendidikan dan ilmu pengetahuan mempengaruhi situasi ekonomi dan kesejahteraan.

Kolonialisme dan penjajahan sangat mengganggu perekonomian. Rezim yang dipimpin oleh penguasa yang zalim dan tidak adil merupakan sebab terkikisnya kesejahteraan rakyat. Saat itu ekspansi Negara-negara Eropa ke Negara Islam dan Asia sedang menjamur, tujuannya tak lain adalah menguasai perdagangan bahkan memonopoli hasil bumi yang tidak mereka miliki.

Keserakahan dan kehidupan foya-foya para penguasai mereka jadikan alat agar bisa menyuntik pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi. Fenomena inilah yang membuat Jamaluddin al-Afghani masuk dalam dunia politik dan menentang penjajahan dan tujuan utama ketika mencetuskan Pan-Islamisme. Bukunya “The Refutation of The Materialistis”, yang berisi penangkalan terhadap kaum-kaum pemuja masa, materalistik juga membongkar teori Evolusi Darwin banyak berbicara tentang kehidupan ekonomi.

Jamaluddin al-Afghani menentang teori naturalisme dan prinsip aliran ekonomi sosialis yang memaksa kesamaan dalam setiap hal termasuk pendapatan dan kebutuhan. Doktrin ini membuat manusia bermalas-malasan, hanya mengambil jalan yang mudah dan tidak ada usaha yang lebih. Apabila doktrin ini menyebar maka dipastikan kegiatan ekonomi akan lesu dan tidak berkembang. Dalam buku ini juga al-Afghani menentang Kapitalisme yang berprinsip materialistik yang menempuh segala cara untuk mencapai keinginan tanpa memperhatikan kerugian orang lain. Seperti itulah sejarah yang melatar belakangi pemikir ekonomi islam Jamaluddin al-Afghani.

c. Muhammad Iqbal 1289-1356 H

Muhammad Iqbal di dunia luas lebih dikenal sebagai filosof, sastrswan atau juga pemikiran politik, Muhammad iqbal sebenernya juga memeiliki pemikiran-pemikiran ekonomi yang berlian. Pemikirannya memang tidak berkisar tentang hal-hal teknis ekonomi, tetapi lebih kepada konsep-konsep umum yang mendasar.

Dalam karyanya,  puisi dari timur ia ia mnunjukkan tanggapan islam terhadap kapitalisme barat dan reaksi extrim dari komunisme. Keadilan social merupakan aspek yang mendapat perhatian besar dari Iqbal, dan ia menyatakan bahwa negara memiliki tugas yang besar untuk mewujudkan keadilan sosial ini. Zakat, yang hukumnya wajib dalam Islam, dipandang memiliki posisi yang strategis bagi penciptaan masyarakat yang adil.

d. Sayyid Abul A’la Maududi 1321-1397 H

Aspek ekonomi Islam yang didasarkan pada pemikiran Abu A’la Maududi mempunyai kecenderungan pada kontekstualisasi Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw sebagai perwujudan identitas seorang muslim. Perwujudan ini ia jabarkan pada aspek yang mendasarkan pada ekonomi Islam yang mempunyai landasan dasar yaitu akidah, moral, dan syari’ah.

Aspek ekonomi Islam yang Maududi jabarkan harus mengandung tujuh hal yaitu halal dan haram dalam mencari harta, menumpuk harta, infaq, zakat, waris, fai’ dan ghanimah, dan berhemat dalam infaq. Tujuh hal tersebut kesemuanya mempunyai keterkaitan sehingga aspek ekonomi Islam yang dijabarkan oleh Maududi dapat menggairahkan kegiatan perekonomian di masyarakat. Kepeduliannya terhadap problem umat dituangkan dalam butir-butir pemikirannya tentang prinsip-prinsip Ekonomi Islam yang tertuang dalam kumpulan risalahnya yang sudah dibukukan seperti Economic System of Islam, Economic Problem of Man and It’s Islamic Solution, Way of Life dan lain-lain.

Al-Maududi telah menjelaskan bahwasanya Islam telah meletakkan beberapa prinsip dan menetapkan batasan-batasan tertentu untuk melaksanakan kegiatan ekonomi sehingga segala bentuk produksi, pertukaran dan distribusi kekayaan dapat serupa (conform) dengan ukuran Islam. Islam tidak membentuk metode-metode dan tehnik-tehnik yang berubah-ubah menurut waktu atau dengan detail-detail dari bentuk-bentuk dan alat-alat organisasi tetapi Islam membentuk metode-metode yang cocok pada setiap zaman dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat serta tuntutan situasi ekonomi.

BACA JUGA: Kerjasama Ekonomi Islam Menurut Ulama Fiqh dan Bentuk-bentuknya

Demikianlah para sejarah para pemikir Ekonomi Islam yang memberikan peran penting pada masa transisi saat itu, dimana dunia Islam saat itu telah dikacaukan dengan sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis, maka pada masa itu muncul para pembaharuan-pembaharuan dari pada tokoh-tokoh Ekonom Islam, walaupun sebenarnya Ijtihad mereka bukan hanya dalam masalah ekonomi tetapi dalam segala bidang semisal Politik, Sosial, Filsafat dan Keagamaan