Memahami Konsep Etos Kerja Dalam Prespektif Islam

  • Whatsapp
Konsep Etos Kerja Islam

Memahami konsep etos kerja dalam prespektif Islam, maka terlebih dahulu harus dipahami pengertiannya.

Menurut kamus perkataan “etos” menyebutkan bahwa ia berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang bermakna watak atau karakter. Secara lengkapnya, pengertian etos ialah karakteristik dan sikap, kebiasaan serta ke-percayaan, dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang seorang individu atausekelompok manusia.

Read More

Dari perkataan “etos” terambil pula perkataan “etika” dan “etis” yang merujuk kepada makna “akhlaq” atau bersifat “akhlaqi”, yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. Juga dikatakan bahwa “etos” berarti jiwa khas suatu kelompok manusia,3 yang dari jiwa khas itu berkembang pandangan bangsa tersebut tentang yang baik dan yang buruk, yakni, etikanya.

Secara sederhana, etos dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu masyarakat.

Membicarakan konsep etos kerja dalam prespektif Islam, berarti menggunakan dasar pemikiran bahwa Islam sebagai suatu sistem keimanan, tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap masalah etos kerja.

Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah Swt.

Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim, menyatakan bahwa “bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fikir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.

Baca Juga: Mensejahterakan Masyarakat Dengan Zakat Produktif dan Kerjasama Mudharabah

Rahmawati Caco, berpendapat bahwa bagi orang yang ber-etos kerja islami, etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan atau aqidah Islami berkenaan dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan akal.

Sistem keimanan itu, menurutnya, identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah kerja). Ia menjadi sumber motivasi dan sumber nilai bagi terbentuknya etos kerja Islami. Etos kerja Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman dan amal shaleh.

Tanpa landasan iman dan amal shaleh, etos kerja apa pun tidak dapat menjadi islami. Tidak ada amal saleh tanpa iman dan iman akan merupakan sesuatu yang mandul bila tidak melahirkan amal shaleh. Kesemuanya itu mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh merupakan suatu rangkaian yang terkait erat, bahkan tidak terpisahkan.

Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat dipahami bahwa konsep etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang “kerja” yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang dorongan untuk bekerja itulah yang membentuk etos kerja Islam.

Poin-poin Penting yang Mendasari Konsep Etos Kerja Islam

Sebagai agama yang menekankan arti penting amal dan kerja, Islam meng-ajarkan bahwa kerja itu harus dilaksanakan berdasarkan beberapa prinsip berikut:

1. Bekerja Dilakukan Berdasarkan Pengetahuan

Sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Qur‟an, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya.”(QS, Al Isra’: 36).

Baca Juga: 10 Manfaat Koperasi Bagi Anggotanya

2. Pekerjaan Dilaksanakan Berdasarkan Keahlian

Sebagaimana dapat dipahami dari hadis Nabi Saw, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (Hadis Shahih riwayat al-Bukhari).

3. Berorientasi Kepada Mutu

Hasil yang baik sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Dialah Tuhan yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang dapat melakukan amal (pekerjaan) yang terbaik; kamu akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Mulk : 2).

Dalam Islam, amal atau kerja itu juga harus dilakukan dalam bentuk saleh sehingga dikatakan amal saleh, yang secara harfiah berarti sesuai, yaitu sesuai dengan standar mutu.

4. Selalu Merasa Diawasi

Pekerjaan itu diawasi oleh Allah, Rasul dan masyarakat, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah, “Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu.” (QS. At Taubah : 105).

5. Bekerja Harus Selalu Semangat

Pekerjaan dilakukan dengan semangat dan etos kerja yang tinggi. Pekerja keras dengan etos yang tinggi itu digambarkan oleh sebuah hadis sebagai orang yang tetap menaburkan benih sekalipun hari telah akan kiamat.

6. Imbalan yang Layak

Orang berhak mendapatkan imbalan atas apa yang telah ia kerjakan. Ini adalah konsep pokok dalam agama. Konsep imbalan bukan hanya berlaku  untuk pekerjaan-pekerjaan dunia, tetapi juga berlaku untuk pekerjaan-pekerjaan ibadah yang bersifat ukhrawi.

Di dalam al-Qur‟an ditegaskan bahwa: “Allah membalas orang-orang yang melakukan sesuatu yang buruk dengan imbalan setimpal dan memberi imbalan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan.”(QS. An Najm: 31). Dalam hadis Nabi dikatakan, “Sesuatu yang paling berhak untuk kamu ambil imbalan atasnya adalah Kitab Allah.” (H.R. al-Bukhari).

Jadi, menerima imbalan atas jasa yang diberikan dalam kaitan dengan Kitab Allah; berupa mengajarkannya, menyebarkannya, dan melakukan pengkajian terhadap-nya, tidaklah bertentangan dengan semangat keikhlasan dalam agama.

7. Niat Mencari Ridho Alloh

Berusaha menangkap makna sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat ter-kenal bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya: jika tujuannya tinggi (seperti tujuan mencapai ridha Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti, hanya bertujuan memperoleh simpati sesame manusia belaka), maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya tersebut.

Sabda Nabi Saw itu menegaskan bahwa nilai kerja manusia tergantung kepada komitmen yang mendasari kerja itu. Tinggi rendah nilai kerja itu diperoleh seseorang sesuai dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan.

Dari Anas Ibn Malik (dilaporkan bahwa) ia berkata: Rasulullah Saw. telah bersabda, “Apabila salah seorang kamu menghadapi kiamat sementara di tangannya masih ada benih hendaklah ia tanam benih itu.” (H.R. Ahmad).

8. Kerja Adalah Kewajiban atau Amal Baik

Ajaran Islam menunjukkan bahwa “kerja” atau “amal” adalah bentuk keberadaan manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi keberadaan kemanusiaan.

Jika filsuf Perancis, Rene Descartes, terkenal dengan ucapannya, “Aku berpikir maka aku ada” (Cogito ergo sum), karena berpikir baginya bentuk wujud manusia– maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada.”

Pandangan ini sentral sekali dalam system ajaran Islam. Ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan sendiri: “Belumkah ia (manusia) diberitahu tentang apa yang ada dalam lembaran-lembaran suci (Nabi (Musa)? Dan Nabi Ibrahim yang setia ? Yaitu bahwa seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan bahwa tidaklah bagi manusia itu melainkan apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian ia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Dan bahwa kepada Tuhanmu lah tujuan yang penghabisan” (Qs. An Najm : 36-42).

Itulah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa, kerja adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia, yakni apa yang dimilikinya tidak lain ialah amal perbuatan atau kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dengan amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai harkat yang setinggi-tingginya, yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridlaan.

“Barang siapa benar-benar mengharap bertemu Tuhannya, maka hendaknya ia berbuat baik, dan hendaknya dalam beribadat kepada Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik,” (yakni, mengalihkan tujuan pekerjaan selain kepada Allah, Sang Maha Benar, al-Haqq, yang menjadi sumber nilai terdalam pekerjaan manusia).

Dalam ajaran Islam, beramal dengan semangat penuh pengabdian yang tulus untuk mencapai keridlaan Allah dan meningkatan taraf kesejahteraan hidup umat adalah fungsi manusia itu sendiri sebagai khalifatullah fi al-Ardl. Dalam beramal, zakat misalnya, bisa dimanfaatkan hasilnya untuk keperluan yang bersifat konsumtif, seperti menyantuni anak yatim, janda, orang yang sudah lanjut usia, cacat fisik atau mental dan sebagainya, secara teratur per bulan, atau sampai akhir hayatnya, atau sampai mereka mampu mandiri dalam mencukupi kebutuhan pokok hidupnya.

Baca Juga: Koperasi Bodong, Penipuan, dan Bangkrut. Bagaimana dengan Koperasi Nafaa?

Selain itu, hasil zakat bisa pula digunakan untuk keperluan yang bersifat produktif, seperti pemberian bantuan keuangan sebagai modal usaha bagi fakir miskin yang mempunyai keterampilan tertentu dan mau berusaha serta bekerja keras. Hal ini untuk membebaskan mereka dari keterpurukan taraf hidupnya sehingga bisa mandiri.  

9. Alloh Cinta Mukmin yang Kuat

Menangkap pesan dasar dari sebuah hadis shahih yang menuturkan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi “Orang mukmin yang kuat lebih disukai Allah”, redaksinya kira-kira begini: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah SWT  dari pada orang mukmin yang lemah, meskipun pada kedua-duanya ada kebaikan.

Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah menjadi lemah. Jika sesuatu (musibah) menimpamu, maka janganlah berkata: “Andaikan sesuatu, maka hasilnya akan begini dan begitu”. Sebaliknya berkatalah: “Ketentuan (qadar) Allah, dan apa pun yang dikehendaki-Nya tentu dilaksanakan-Nya”. Sebab sesungguhnya perkataan “andaikan” itu membuka perbuatan setan” (Mukhtashar, Jil. 2, hlm. 246, Hadis No. 1840).

Dengan demikian, untuk membuat kuatnya seorang mukmin seperti dimaksudkan oleh Nabi Saw, manusia beriman harus bekerja dan aktif, sesuai petunjuk lain: “Katakan (hai Muhammad): “Setiap orang bekerja sesuai dengan kecenderungannya (bakatnya)…” (QS. Al Isra’ : 84). Juga firman-Nya, “Dan jika engkau bebas (berwaktu luang), maka bekerja keraslah, dan kepada Tuhan-Mu berusahalah mendekat” (Qs. Al Insyirah : 7).

Karena perintah agama untuk aktif bekerja itu, maka Robert N. Bellah mengatakan, dengan menggunakan suatu istilah dalam sosiologi modern, bahwa etos yang dominan dalam Islam ialah menggarap kehidupan dunia ini secara giat, dengan mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlah).

Demikian pembahasan tentang konsep etos kerja dalam prespektif Islam, bahwa Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas bahwa kita harus giat bekerja untuk mencari kemurahan rezeki yang telah Alloh limpahkan di dunia ini, akhirnya mudah-mudahan dapat membawa banyak manfaat bagi kita semua. Amin…