Kredit Syariah: Sejarah Umum dan Macam-Macam Akadnya

  • Whatsapp
Kredit Syariah Sejarah Umum dan Macam-Macam Akadnya

Kredit Syariah merupakan salah satu bentuk transaksi ekonomi Islam yang juga telah dilakukakan oleh orang-orang Islam sejak masa awal-awal Islam yaitu dari zaman Rasullah SAW sampai dengan zaman modern saat ini.

Aktifitas tersebut adalah kegiatan “Mua’malah”, yang di dalamnya merupakan usaha perekonomian dari menerima titipan harta, menggadaikan harta atau barang berharga, seperti yang dilakukan Sayidina Ali ra, pinjam meminjam uang untuk konsumsi, melakukan pengiriman uang, pembelian barang titipan dan lain sebagainya.

Read More

Baca Juga: Konsep Dasar Ekonomi Islam Di Indonesia

Sejarah Umum Kredit Syariah

Perkembangan zaman menuntut timbulnya suatu sistem yang dapat mewadahi aktifitas-aktifitas perekonomian tersebut. Megitu juga dengan konsep kredit syariah. Sejarah cikal-bakal kredit syariah sudah ada pada masa Rasullullah SAW, namun aktifitas tersebut dijalankan secara personal.

Kemudian pada zaman Umayyah dan Abbasiyah, transaksi jasa keuangan dilakukan hanya oleh individu tertentu saja, yang sudah dipercaya, kemudian pada zaman Abbasiyah tersebutlah Perbankan mulai berkembang, karena pada zaman itu banyak mata uang yang beredar.

Peran Bankir mulai popular pada masa Khalifah Muqtadir (908 M – 932 M). dalam perkembangan berikutnya, kegiatan perbankan bukan hanya dilakukan pada individu-individu tertentu yang dipercaya, tetapi sudah berupa institusi.

Pinjaman dana atau transaksi jasa atas kredit semakin merebah di Eropa yaitu pada zaman Raja Henry VIII pada tahun 1545, dengan dibolehkannya bunga pinjaman (interest) walaupun tetap mengharamkan riba, dengan sayarat bunganya tidak boleh berlipat ganda. Pada saat wafatnya Raja Henry VIII, digantikan oleh Raja Edward VI prakti bunga ditiadakan atau dihapus, namun hal itu tidak berselang lama. Kemudian setelah diganti oleh Ratu Elizabeth I, barulah praktik perbungan dibolehkan kembali.

Ketika bangsa Eropa mulai bangkit dari keterbelakangannya, barulah bangsa-bangsa Eropa mulai menjelajah keseluruh dunia, sehingga seluruh aktivitas perekonomian dunia kala itu dikuasai oleh bangsa eropa, seperti Inggris, Spanyol, Portugal, Itali, Prancis, Belanda, dan lain sebagainnya. Tempat-tempat yang disinggahi Bangsa Eropa tak lama menjadi jajahan baru untuk mendapat kekayaan yang lebih banyak lagi.

Pada saat yang sama peradaban bangsa yang mayoritas muslim mengalami kemerosotan, dan satu-persatu negara-negara yang mayoritas muslim jatuh ditangan bangsa penjajah. Akibat dari itu semua, maka seluruh institusi-institusi perekonomian bangsa muslim juga runtuh digantikan oleh institusi-institusi bangsa Eropa, dan keadaan ini berlangsung hingga zaman modern.

Adanya keresahan-keresahaan para pemikir-pemikir muslim, dimana dalam dalam keuangan Islam, bunga pada konsep fiqh dinyatakan riba, sehingga haram. Maka di Negara-negara Muslim, mulai timbul usaha-usaha untuk mendirikan lembaga Bank alternatif untuk menanggulangi riba. Konsep teori adanya Bank Islam muncul pertama kali pada sekitar tahun 1940-an.

Pada masa itu timbul pemikir-pemikir Islam dalam bidang ekonomi seperti Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952), dan uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan terdahulu tentang Perbangkan Islam ditulis oleh Ulama Besar Pakistan yakni, Abul A’la Al Maududi (1961), Serta Muhammad Hamidullah ( 1944 – 1962).

Dari sinilah maka Bank pertama yang pada masa modern tanpa bunga, dimulai di Pakistan yang mengelolah dana haji pada pertengahan tahun 1940-an, namun usaha tersebut tidak sukses. Pada tahun 1963 Bank Syariah mulai berdiri dan mengalami kesuksesan. Bank itu bernama Mit Ghamr Local Saving Bank yang diterima dengan antusias oleh para Petani, dan masyarakat pedesaan. Dan pada perkembangannya, terjadi kerusuhan Politik, maka Mit Ghamr mulai mengalami kemunduran, dan operasionalnya digantikan oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir pada tahun 1967.

Di Indonesia sendiri awal perkembangan Jasa Keuangan Syariah diawali dengan adanya kemunculan Koperasi Syariah yang sudah ada sejak lama sebelum zaman kemerdekaan oleh H. Samanhudi pendiri Serekat Dagang Islam (SDI) sekitar tahun 1900-an. Dan dalam perjalanan yang panjang Pada 18 – 20 Agustus di Cisarua, Bogor diadakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diprakarsai MUI (Majelis Ulama Indonesia).

Baca Juga: Asas-Asas Transaksi Ekonomi Dalam Islam

Hasil lokakarya ini kemudian didukung ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan beberapa pengusaha muslim sehingga pada 1991 ditandatangani akta pendirian Bank Muamalat Indonesia. Bank ini resmi beroperasi pada 1 Mei 1992 berkat bentukan Tim Perbankan MUI. Dari sinilah kemudian disusul Bank-Bank Syariah yang berasal dari cabang perusahaan Perbankan Konvensional. Selain itu juga selain ada lembaga Perbankan Syariah, ada juga Koperasi Syariah, Leasing Syariah, Pegadaian Syariah dan Lembaga syariah  lain yang melayani jasa keuangan.

Di masyarakat yang paling sering memanfaatkan lembaga-lembaga keuangan yang ada di Indonesia adalah mereka memanfaatkan jasa selain simpanan, juga saja pinjaman, jual beli kredit, sewa menyewa dan kerja sama modal. Paling utama fungsi yang sering dipakai oleh masyarakat Islam bagi produk lembaga-lembaga keuangan tersebut adalah berupa pinjaman dan pembelian cicilan, atau biasa disebut Kredit.

Macam-macam Akad Kredit Syariah

Ada berbagai macam akad dalam perkreditan di Lembaga Keuangan Syariah, semisal:

1. Pembelian Kredit Syariah

Pembelian secara kredit tentu tidak asing terdengar di telinga kita. Pembelian secara kredit bisa juga disebut leasing atau pembelian secara cicilan untuk pembayaran barang yang kita inginkan setelah menyerahkan uang muka pembelian.

Di dalam konsep Islam pembelian secara kredit atau leasing diterapkan dengan akad Murabahah, sehingga timbulnya leasing syariah dengan lembaga tersendiri, dan ada juga produk tersebut di lembaga keuangan syariah seperti Koperasi Syariah dan Perbankan Syariah.

Melihat dari cara pembayarannya maka akad yang cocok dipakai adalah akad Murabahah, dimana definiasi murabahah tersebut sesuai Fatwa Dewan Syariah nasional No. 04/DSN-MUI/2000 tentang murabahah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan murabahah adalah  menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba. Perbedaan Pembelian Kredit syariah dengan konvensional ini bisa dilihat dari :

  1. Jika pada leasing syariah tidak ada uang muka, jika adapun sudah dihitung dari pada cicilan awal, sedangkan pada leasing konvensional, biasanya ada uang muka, namun tidak dihitung dari pada termasuk harga suatu barang
  2. Cicilan diterapkan berupa harga pokok dan keuntungan pada leasing syariah, sedangkan pada leasing konvensional, cicilan berupa harga pokok dan bunga yang diterpkan
  3. Angsuran pada leasing syariah, diterpakan berangsur tetap, sedang pada leasing konvensional bisa tetap bisa menyesuaikan suku bunga, semisal pada harga tanah, emas, bangunan yang dicicil.
  4. Perpindahan kepemilikan terjadi sejak awal kesepakatan akad, dan merupakan kepemilikan yang sempurna, sedangkan bagi leasing konvensional harus memperbaiki kontrak transaksi atau perjanjian kesepakatan.

Ada juga pembelian kredit secara syariah, namun pemakaiannya untuk dijadikan modal awal pengusaha, atau suatu barang untuk diolah kembali baik sebagai aset maupun dikembang biakkan. Semisal untuk dijadikan aset modal awal, seperti pembelian alat-alat kerja atau perkakas, inventoris kantor, dan bibit padi atau tanaman, hal itu hanya bisa ditemui di Koperasi Syariah, dan jarang sekali digunakan di perbankan syariah, atau bahkan tidak ada sama sekali, kecuali menggunakan produk kerjasama semisal akan musyarakah dan mudharabah.

2. Sewa Menyewa secara Kredit

Tidak banyak diketahui oleh orang bahwa sewa menyewa secara pembayaran kredit itu banyak terjadi pada suatu transaksi di lembaga keuangan syariah semisal di Perbankan syariah, dan Koperasi. Sewa menyewa secara kredit, bisa berkembang dengan kesepakatan diakhir lamanya waktu yang ditentukan barang yang disewa bisa menjadi suatu kepemilikan. Sewa menyewa biasa disebut dengan akad Ijarah. Akad ijarah ini menjadi dua bagian yaitu ijarah murni, dan ijarah wal Iqtina atau Mutahiyah bit tamlik (IMBT)

a. Ijarah Murni

Ijarah murni dalam syariah bisa kita lihat dengan adanya tabungan dana haji, dan dana pendidikan pada perbankan syariah. Dana haji dibiayai atas menyewa transportasi perjalanan, hotel dan lain sebagainya, saat dia sudah siap berangkat namun belum ada dana cukup, maka dia dibiayai awal dari bank syariah, kemudian dibayar kredit atas sewa transport dan tempat tinggal seperti hotel, sedang pendidikan pun demikian, dia membayar uang kuliah / pendidikan kemudian dibayar kredit melalui bank atau koperasi syariah.

b. Ijarah wal Iqtina atau Mutahiyah Bit Tamlik (IMBT)

IMBT merupakan akad sewa menyewa dimana uang pembayaran sudah termasuk cicilan atas harga pokok barang tersebut. Pihak yang menyewakan yaitu Bank Syariah berjanji akan memindahkan kepemilikan Barang, setelah masa sewa habis kepada penyewa. Janji itu harus dinyatakan dalam bentuk akad Ijarah wal Iqtina atau Muntahiya bit tamlik (IMBT).

4. Pegadaian

Pegadaian merupakan suatu usaha yang bergerak dalam bidang pembiayaan, dengan jaminan atas barang berharga dimana barang tersebut bisa diambil saat terjadinya pelunasan atas peminjaman uang atau pemberin biaya. Dalam perkembannya pegadaian sudah ada sejak zaman dahulu kala sebelum Islam ada ditengah-tengah warga masyarakat.

Pegadaaian di Indonesia awalnya muncul di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746. Namun masih menggunakan bunga yang bersifat komulatif dan berlipat ganda. Pegadaian syariah yang ada di Indonesia berdiri sesuai Fatwa MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn (Gadai). Dalam operasionalnya akad Pegadaain syariah ada 2, yaitu :

  1. Akad Rahn, yaitu menahan Barang berharga nasabah, yang ingin meminjam uang atau mendapat pembiayan, baik dilunasi secara kredit maupun kes.
  2. Akad Ijarah, dimana dilakukan pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, pemeliharaan, dan perawatan, baik dibayarkan dengan secara bertahap dengan pelunasan hutang dengan jaminan barang secara kredit maupun kes.

Perbedaan yang sangat jelas antara pegadaian syariah dengan konvensional adalah pelunasan hutang atas barang yang digadaikan yaitu jika pada pegadaian syariah memprioritaskan biaya sewa tempat, pemeliharaan barang, perawatan, sedangankan pegadaian konvensional dengan pelunasan secara cicilan atau kredit dengan penambahan biaya pokok secara komulatif dan berlipat ganda, yang biasa disebut bunga berlipat da nada denda atas keterlambatan pembaayaran, sedangkan pada pegadaaian syariah berupa tambahan biaya sewa, pemeliharaan, dan perawatan jika terlambat membayar cicilan hutang sesuai akad yang disepakati.

Baca Juga: Kerjasama Ekonomi Islam Menurut Ulama Fiqh dan Bentuk-bentuknya

Demikianlah transaksi kedit atau pembiayaan fasilitas keuangan (pinjaman) atas barang yang dibeli, disewa, maupun hanya berupa pinjama dana (uang) saja untuk dimanfaatkan sekehendak nasabah. Yang membedakan transaksi kredit dan kerjasama dalam pembiayaan adalah selain akad tetapi fungsi, jika kredit biasanya barang menjadi milik nasabah tanpa adanya hubungan dengan orang lain atau lembaga lain dalam hal pemakaian harta, sedangankan pembiayaan untuk pembiayaan modal seperti aakad Mudharabah dan Musyarakah adanya kerjasama pengelolahan uang antara si pemilik modal dan yang menjankan modal tersebut, dengan jangka waktu dan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan.